Jejak yang Tak Terjamah
Ada sebuah tempat yang selalu menari dalam pikiranku, seperti bayangan cahaya yang menembus celah jendela saat fajar menyapa. Aku tahu jalannya berliku, penuh kabut, dan mungkin tak akan pernah kutapaki. Tapi setiap desah angin, setiap helaan napas yang kuhela, selalu membawa aku kembali ke sana, ke ruang yang tak bisa kugenggam, namun tetap hidup di dalam hatiku.
Aku mencintainya seperti malam mencintai bintang—tanpa syarat, tanpa tuntutan, hanya dengan mengagumi. Ada kerinduan yang lembut tapi menggigit, seperti hujan pertama yang jatuh di musim yang salah: menyegarkan hati tapi tak bisa lama bertahan. Dan aku sadar, cinta yang paling murni bukan tentang kepemilikan. Ia tentang kesadaran bahwa jarak, ketidakmungkinan, dan diam pun bisa menjadi saksi bisu bagi besarnya rasa itu.
Mungkin, di dunia lain, kita akan bertemu. Aku akan duduk di bawah pohon rindang, membuka buku yang tebal dengan aroma kertas yang menenangkan, merasakan udara yang selama ini hanya bisa kusingkap dalam angan. Aku akan tersenyum dalam senyap, membiarkan waktu berputar di sekelilingku, meresapi setiap detik yang dulu hanya menjadi mimpi.
Namun untuk saat ini, aku hanya bisa menulis. Menyulam setiap kerinduan menjadi kata, setiap kekaguman menjadi kalimat, dan membiarkan hati ini berdansa dengan bayangan yang tak nyata. Ada keindahan yang lahir dari kesunyian, dari rasa yang tak tergapai, dari perasaan yang tumbuh diam-diam seperti bunga liar di tepi jalan, indah tanpa perlu pengakuan.
Dan di setiap detik, aku belajar bahwa mencintai bukan soal memiliki. Ia soal mengizinkan diri sendiri merasa, mengizinkan hati bergetar, dan tetap setia pada perasaan yang tak mungkin ditaklukkan. Ada sesuatu yang sakral dalam merindukan tanpa pernah menyentuh, dalam mengagumi tanpa harus digenggam, dalam cinta yang hanya bisa hidup di dalam hati, namun tetap mengajariku arti kesabaran, ketulusan, dan keabadian dalam ketidakmungkinan.
Comments
Post a Comment